Senin, 12 Desember 2016

LP STRUMA NODUSA NON TOKSIK (SNNT)

LAPORAN PENDAHULUAN
STRUMA NODUSA NON TOKSIK






DISUSUN OLEH :
NAMA            : ARIF KURNIAWAN
NIM                 : 4012170041



PROGRAM PROFESI NERS
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BINA PUTERA
KOTA BANJAR

2016




SNNT (STRUMA NODUSA NON TOKSIK)
A.    DEFINISI
Struma  Nodusa Non Toksik adalah pembesaran kelenjar thyroid yang secara klinik teraba nodul satu atau lebih tanpa disertai tanda-tanda hiper thyroidisme. (Brunner dan Sudarth 2002). Struma nodosa non toksik merupakan pembesaran kelenjar tiroid akibat kekurangna masukan iodium dalam makanan. (  kapita selekta kedokteran, jilid 2).
Stuma nodosa non toksik adalah pembesaran kelenjar tiroid pada pasien eutiroid, tidak berhubungan dengan neoplastik atau proses implasi (bambang sumantri Skep Ns 2011).
Struma Nodusa Non Toksik adalah pembesaran dari kelenjar tyroid yang berbatas jelas tanpa gejala-gejala hypertyroid.
Struma nodosa non toksik adalah pembesaran kelenjar tyroid yang secara klinik   teraba   nodul   satu   atau   lebih   tanpa   disertai   tanda-tanda hypertiroidisme (Hartini, 1987).

B.     KLASIFIKASI
Struma nodusa dapat diklasifikasi berdasarkan beberapa hal, yaitu :
1.      Berdasarkan jumlah nodul :
Bila jumlah nodul hanya satu disebut struma nodusa soliter (uninodusa), dan bila lebih dari satu disebut struma multi nodusa.
2.      Berdasarkan kemampuan menangkap yodium radio aktif dikenal 3 bentuk nodul tyroid yaitu :
Nodul dingin, nodul hangat, dan nodul panas.
3.      Berdasarkan konsistensinya :
Nodul lunak, kistik, keras dan sangat keras.

C.    ETIOLOGI
Adanya gangguan fungsional dalam pembentukan hormon tiroid merupakan faktor penyebab pembedaran tiroid antara lain:
1.      Defisiensi iodium  :
Pada umumnya, penderita penyakit struma sering terdapat di daerah yang kondisi air minum dan tanahnya kurang mengandung iodium, misalnya daerah pegunungan.
2.      Kelainan metabolik kongenital yang menghambat hormon tiroid 
3.      Penghambatan sintesis hormon oleh zat kimia (seperti substansi dalam kol, lobal. dan kacang kedelai) 
4.      Penghambatan sintesis hormon oleh obat-obatan (thiocarbamide, sulfonylyurea) (Brunicardi et al, 2010).

D.    PATHWAY
https://imgv2-1-f.scribdassets.com/img/document/170585133/original/36990a0b4f/1464736156

E.     PATOFISIOLOGI
Iodium merupakan semua bahan utama yang dibutuhkan tubuh untuk pembentukan hormon tiroid. Bahan yang mengandung iodium diserap usus, masuk ke dalam sirkulasi darah dan ditangkap paling banyak oleh kelenjar tiroid. Dalam kelenjar tiroid, iodium dioksida menjadi bentuk yang aktif yang distimuler oleh TSH kemudian disatukan menjadi molekul tiroksin yang terjadi pada fase sel koloid. Senyawa yang terbentuk dalam molekul diidotironiin membentuk T4 dan T3. T4 menunjukkan pengaturan umpan balik negatif dari sekresi TSH dan bekerja langsung pada tirotropihypofisis, sedang T3 merupakan hormon metabolik tidak aktif. Beberapa obat dan keadaan dapat mempengaruhi sintesis, pelepasan dan metabolisme tiroid sekaligus menghambat sintesis T4 dan melalui rangsangan umpan balik negatif meningkatkan pelepasan TSH oleh kelenjar hipofisis. Keadaan ini menyebabkan pembesaran kelenjar tiroid.

F.     MANIFESTASI
Pada penyakit SNNT tiroid membesar dengan lambat. Awalnya kelenjar ini membesar secara difus dan permukaan licin. Jika struma cukup besar, akan menekan area trakea yang dapat mengakibatkan gangguan pada respirasi dan juga esofagus tertekan sehingga terhadi gangguan menelan.
Klien tidak mempunyai keluhan karena tidak ada hipo atau hipertirodisme. Peningkatan metabolism karena klien hiperaktif dengan meningkatnya denyut nadi. Peningkatan simpatis, seperti : jantung menjadi berdebar-debar, gelisah, berkeringat, tidak tahan cuaca dingin, diare, gemetar dan kelelahan.
Pada pemeriksaan status lokalis struma nodusa, dibedakan dalam hal :
1.      Jumlah nodul ; satu (soliter), atau lebih dari satu (multipel)
2.      Konsistensi : lunak, kistik, keras dan sangat keras
3.      Nyeri pada penekanan; ada atau tidak ada.
4.      Perlekatan dengan sekitarnya; ada atau tidak ada.
5.      Pembesaran kelenjar getah bening di sekitar tyroid ; ada atau tidak ada.

G.    PEMERIKSAAN PENUNJANG
1.      Pada palpasi teraba batas yang jelas, bemodul satu atau lebih, konsistensinya kenyal.
2.      Human trylogobulin (untuk keganasan tyroid)
3.      Pada pemeriksaan laboratorium, ditemukan serum T4 (troskin) dan T3 (tridotironim) dalam batas normal. Nilai normal T3 = 0,6-2,0, T4 = 4,6-11
4.      Pada pemeriksaan USG dapat dibedakan padat atau tidaknya nodul.
5.      Kepastian histologi dapat ditegakkan melalui biopsy aspirasi jarum halus yang hanya dapat dilakukan oleh seorang tenaga ahli yang berpengalaman.
6.      Pemeriksaan sidik tiroid.
Hasil dapat dibedakan 3 bentuk yaitu :
a)      Nodul dingin bila penangkapan yodium nihil atau kurang dibandingkan sekitarnya. Hal ini menunjukkan fungsi yang rendah.
b)      Nodul panas bila penangkapan yodium lebih banyak dari pada sekitarnya. Keadaan ini memperlihatkan aktivitas yang berlebih.
c)      Nodul hangat bila penangkapan yodium sama dengan sekitarnya. Ini berarti fungsi nodul sama dengan bagian tiroid yang lain

H.    PENATALAKSANAAN
1.      Dengan pemberian kapsul minyak beriodium terutama bagi penduduk di daerah endemik sedang dan berat.
2.      Edukasi
Program ini bertujuan merubah prilaku masyarakat, dalam hal pola makan dan memasyarakatkan pemakaian garam beriodium.
3.      Penyuntikan lipidol.
Sasaran penyuntikan lipidol adalah penduduk yang tinggal di daerah endemik diberi suntikan 40 % tiga tahun sekali dengan dosis untuk orang dewasa dan anak di atas enam tahun 1 cc, sedang kurang dari enam tahun diberi 0,2 cc – 0,8 cc.
4.      Tindakan operasi (strumektomi).
Pada struma nodosa non toksik yang besar dapat dilakukan tindakan operasi bila pengobatan tidak berhasil, terjadi gangguan misalnya : penekanan pada organ sekitarnya, indikasi, kosmetik, indikasi keganasan yang pasti akan dicurigai.
5.      L-tiroksin selama 4-5 bulan
Preparat ini diberikan apabila terdapat nodul hangat, lalu dilakukan pemeriksaan sidik tiroid ulng. Apabila nodul mengecil, terapi dianjutkan apabila tidak mengecil bahkan membesar dilakukan biopsy atau operasi.
6.      Biopsy aspirasi jarum halus.
Dilakukan pada kista tiroid hingga nodul kurang dari 10mm


I.       KOMPLIKASI
1.      Gangguan menelan atau bernafas.
2.      Gangguan jantung baik berupa gangguan irama hingga pnyakit jantung kongestif ( jantung tidak mampu memompa darah keseluruh tubuh).
3.      Osteoporosis, terjadi peningkatan proses penyerapan tulang sehingga tulang menjadi rapuh, keropos dan mudah patah.

J.      KONSEP KEPERAWATAN
1.      Pengkajian.
a.       Pengumpulan Data
1)      Identifikasi klien.
2)      Keluhan utama klien.
Pada klien pre operasi mengeluh terdapat pembesaran pada leher. Kesulitan menelan dan bernapas. Pada post operasi thyroidectomy keluhan yang dirasakan pada umumnya adalah nyeri akibat luka operasi.
3)      Riwayat penyakit sekarang
Biasanya didahului oleh adanya pembesaran nodul pada leher yang semakin membesar sehingga mengakibatkan terganggunya pernafasan karena penekanan trakhea eusofagus sehingga perlu dilakukan operasi.
4)      Riwayat penyakit dahulu
Perlu ditanyakan riwayat penyakit dahulu yang berhubungan dengan penyakit gondok, sebelumnya pernah menderita penyakit gondok.
5)      Riwayat kesehatan keluarga.
Ada anggota keluarga yang menderita sama dengan klien saat ini.
6)      Riwayat psikososial.
Akibat dari bekas luka operasi akan meninggalkan bekas atau sikatrik sehingga ada kemungkinan klien merasa malu dengan orang lain.
2.      Pemeriksaan fisik
a.       Keadaan umum
Pada umumnya keadaan penderita lemah dan kesadarannya composmentis dengan tanda-tanda vital yang meliputi tensi, nadi, pernafasan dan suhu yang berubah.


b.      Kepala dan leher
Pada klien dengan pre operasi terdapat pembesaran kelenjar tiroid. Pada post operasi thyroidectomy biasanya didapatkan adanya luka operasi yang sudah ditutup dengan kasa steril yang direkatkan dengan hypafik serta terpasang drain. Drain perlu diobservasi dalam dua sampai tiga hari.
c.       Sistim pernafasan
Biasanya pernafasan lebih sesak akibat dari penumpukan sekret efek dari anestesi, atau karena adanya darah dalam jalan nafas.
d.      Sistim Neurologi
Pada pemeriksaan reflek hasilnya positif tetapi dari nyeri akan didapatkan ekspresi wajah yang tegang dan gelisah karena menahan sakit.
e.       Sistim gastrointestinal
Komplikasi yang paling sering adalah mual akibat peningkatan asam lambung akibat anestesi umum, dan pada akhirnya akan hilang sejalan dengan efek anestesi yang hilang.
f.        Aktivitas/istirahat
Insomnia, otot lemah, gangguan koordinasi, kelelahan berat, atrofi otot.
g.      Eliminasi
Urine dalam jumlah banyak, perubahan dalam faeces, diare.
h.      Integritas ego
Mengalami stres yang berat baik emosional maupun fisik, emosi labil, depresi.
i.        Makanan/cairan
Kehilangan berat badan yang mendadak, nafsu makan meningkat, makan banyak, makannya sering, kehausan, mual dan muntah, pembesaran tyroid.
j.        Rasa nyeri/kenyamanan
Nyeri orbital, fotofobia.
k.      Keamanan
Tidak toleransi terhadap panas, keringat yang berlebihan, alergi terhadap iodium (mungkin digunakan pada pemeriksaan), suhu meningkat di atas 37,40C, diaforesis, kulit halus, hangat dan kemerahan, rambut tipis, mengkilat dan lurus, eksoptamus : retraksi, iritasi pada konjungtiva dan berair, pruritus, lesi eritema (sering terjadi pada pretibial) yang menjadi sangat parah.
l.        Seksualitas
Libido menurun, perdarahan sedikit atau tidak sama sekali, impotensi.
K.    DIAGNOSIS
I.                    Resiko tinggi terjadi ketidakefektivan bersihan jalan nafas berhubungan dengan obstruksi trakea, pembengkakan, perdarahan dan spasme laringeal.
II.                 Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan cedera pita suara/kerusakan laring, edema jaringan, nyeri, ketidaknyamanan.
III.              Resiko tinggi terhadap cedera/tetani berhubungan dengan proses pembedahan, rangsangan pada sistem saraf pusat.
IV.              Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan dengan tindakan bedah terhadap jaringan/otot dan edema pasca operasi.
V.                Kurangnya pengetahuan yang berhubungan dengan salah interprestasi yang ditandai dengan sering bertanya tentang penyakitnya.
VI.              Potensial terjadinya perdarahan berhubungan dengan terputusnya pembuluh darah sekunder terhadap pembedahan.

L.     INTERVENSI KEPERAWATAN
No
DX
Perencanaan keperawatan
Tujuan
Intervensi
Rasional
1.
Resiko tinggi terjadi ketidakefektivan bersihan jalan nafas berhubungan dengan obstruksi trakea, pembengkakan, perdarahan dan spasme laryngeal.
Setelah dilakukan perawatan selama 1x24 jam diharapkan jalan nafas klien dapat efektif dengan kriteria hasil:
Tidak ada sumbatan pada trakhea
·    Monitor pernafasan dan kedalaman dan kecepatan nafas.
·    Dengarkan suara nafas, barangkali ada ronchi.
·    Observasi kemungkinan adanya stridor, sianosis.
·    Atur posisi semifowler
·    Bantu klien dengan teknik nafas dan batuk efektif.

·    Melakukan suction pada trakhea dan mulut.


·    Perhatikan klien dalam hal menelan apakah ada kesulitan.
·    Mengetahui perkembangan dari gangguan pernafasan.
·    Ronchi bisa sebagai indikasi adanya sumbatan jalan nafas.
·    Indikasi adanya sumbatan pada trakhea atau laring.

·    Memberikan suasana yang lebih nyaman.
·    Memudahkan pengeluaran sekret, memelihara bersihan jalan nafas.dan ventilsassi
·    Sekresi yang menumpuk mengurangi lancarnya jalan nafas.
·    Mungkin ada indikasi perdarahan sebagai efek samping opersi.
2.
Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan cedera pita suara/kerusakan laring, edema jaringan, nyeri, ketidaknyamanan.
Setelah dilakukan perawatan selama 1x24 jam diharapkan rasa nyeri berkurang
dg kriteria hasil:
Dapat menyatakan nyeri berkurang, tidak adanya perilaku uyg menunjukkan adanya nyeri.
·         Kaji pembicaraan klien secara periodik


·         Lakukan komunikasi dengan singkat dengan jawaban ya/tidak.
·         Kunjungi klien sesering mungkin
·         Ciptakan lingkungan yang tenang.
·         Suara parau dan sakit pada tenggorokan merupakan faktor kedua dari odema jaringan / sebagai efek pembedahan.
·         Mengurangi respon bicara yang terlalu banyak.

·         Mengurangi kecemasan klien
·         Klien dapat mendengar dengan jelas komunikasi antara perawat dan klien.
3
Resiko tinggi terhadap cedera/tetani berhubungan dengan proses pembedahan, rangsangan pada sistem saraf pusat.

Setelah dilakukan perawatan selama 1x24 jam diharapkan klien menunjukkan tidak ada cedera dengan komplikasi terpenuhi/terkontrol dg kriteria hasil:
Tidak terdapat cedera

·      Pantau tanda-tanda vital dan catat adanya peningkatan suhu tubuh, takikardi (140 – 200/menit), disrtrimia, syanosis, sakit waktu bernafas (pembengkakan paru).


·      Evaluasi reflesi secara periodik. Observasi adanya peka rangsang, misalnya gerakan tersentak, adanya kejang, prestesia.
·      Pertahankan penghalang tempat tidur/diberi bantalan, tmpat tidur pada posisi yang rendah.
·      Memantau kadar kalsium dalam serum.

·      Kolaborasi
Berikan pengobatan sesuai indikasi (kalsium/glukonat, laktat).
·         Hypolkasemia dengan tetani (biasanya sementara) dapat terjadi 1 – 7 hari pasca operasi dan merupakan indikasi hypoparatiroid yang dapat terjadi sebagai akibat dari trauma yang tidak disengaja pada pengangkatan parsial atau total kelenjar paratiroid selama pembedahan.
·         Menurunkan kemungkinan adanya trauma jika terjadi kejang.










·         Kalsium kurang dari 7,5/100 ml secara umum membutuhkan terapi pengganti.
·         Memperbaiki kekurangan kalsium yang biasanya sementara tetapi mungkin juga menjadi permanen.
4
Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan dengan tindakan bedah terhadap jaringan/otot dan edema pasca operasi.
Setelah dilakukan perawatan selama 1x24 jam diharapkan rasa nyeri berkurang dg kriteria hasil:
Dapat menyatakan nyeri berkurang, tidak adanya perilaku uyg menunjukkan adanya nyeri.

·         Atur posisi semi fowler, ganjal kepala /leher dengan bantal kecil

·         Kaji respon verbal /non verbal lokasi, intensitas dan lamanya nyeri.
·         Intruksikan pada klien agar menggunakan tangan untuk menahan leher pada saat alih posisi .
·         Beri makanan /cairan yang halus seperti es krim.

·         Lakukan kolaborasi dengan dokter untuk pemberian analgesik.
·         Mencegah hyperekstensi leher dan melindungi integritas pada jahitan pada luka.

·         Mengevaluasi nyeri, menentukan rencana tindakan keefektifan terapi.

·         Mengurangi ketegangan otot.



·         Makanan yang halus lebih baik bagi klien yang menjalani kesulitan menelan.
·         Memutuskan transfusi SSP pada rasa nyeri.
5
Kurangnya pengetahuan yang berhubungan dengan salah interprestasi yang ditandai dengan sering bertanya tentang penyakitnya.
Setelah dilakukan perawatan selama 1x24 jam diharapkan Pengetahuan klien bertambah.dg kriteria hasil :
Klien berpartisipasi dalam program keperawatan

·         Diskusikan tentang keseimbangan nutrisi.
·         Hindari makanan yang banyak mengandung zat goitrogenik misalnya makanan laut, kedelai, Lobak cina dll.
·         Konsumsikan makanan tinggi calsium dan vitamin D.
·         Mempertahankan daya tahan tubuh klien.


·         Kontraindikasi pembedahan kelenjar thyroid.





·         Memaksimalkan suplai dan absorbsi kalsium.
6
Potensial terjadinya perdarahan berhubungan dengan terputusnya pembuluh darah sekunder terhadap pembedahan.

Setelah dilakukan perawatan selama 1x24 jam diharapkan Perdarahan tidak terjadi dg kriteria hasil :
Tidak terdapat adanya tanda-tanda perdarahan.

·         Observasi tanda-tanda vital.



·         Pada balutan tidak didapatkan tanda-tanda basah karena darah.

·         Dari drain tidak terdapat cairan yang berlebih.( > 50 cc).
·         Dengan mengetahui perubahan tanda-tanda vital dapat digunakan untuk mengetahui perdarahan secara dini.
·         Dengan adanya balutan yang basah berarti adanya perdarahan pada luka operasi.
·         Cairan pada drain dapat untuk mengetahui perdarahan luka operasi.


M.   PENATALAKSANAAN MEDIS
1.    Operasi / pembedahan
Pembedahan menghasilkan hipotiroidisme permanen yang kurang sering dibandingkan dengan yodium radioaktif. Terapi ini tepat untuk para pasien hipotiroidisme yang tidak mau mempertimbangkan yodium radioaktif dan tidak dapat diterapi dengan obat-obat anti tiroid. Reaksi-reaksi yang merugikan yang dialami dan untuk pasien hamil dengan tirotoksikosis parah atau kekambuhan. Pada wanita hamil atau wanita yang menggunakan kontrasepsi hormonal (suntik atau pil KB), kadar hormon tiroid total tampak meningkat. Hal ini disebabkan makin banyak tiroid yang terikat oleh protein maka perlu dilakukan pemeriksaan kadar T4 sehingga dapat diketahui keadaan fungsi tiroid.
Pembedahan dengan mengangkat sebagian besar kelenjar tiroid, sebelum pembedahan tidak perlu pengobatan dan sesudah pembedahan akan dirawat sekitar 3 hari. Kemudian diberikan obat tiroksin karena jaringan tiroid yang tersisa mungkin tidak cukup memproduksi hormon dalam jumlah yang adekuat dan pemeriksaan laboratorium untuk menentukan struma dilakukan 3-4 minggu setelah tindakan pembedahan.
2.      Yodium Radioaktif
Yodium radioaktif memberikan radiasi dengan dosis yang tinggi pada kelenjar tiroid sehingga menghasilkan ablasi jaringan. Pasien yang tidak mau dioperasi maka pemberian yodium radioaktif dapat mengurangi gondok sekitar 50 %. Yodium radioaktif tersebut berkumpul dalam kelenjar tiroid sehingga memperkecil penyinaran terhadap jaringan tubuh lainnya. Terapi ini tidak meningkatkan resiko kanker, leukimia, atau kelainan genetik35 Yodium radioaktif diberikan dalam bentuk kapsul atau cairan yang harus diminum di rumah sakit, obat ini ini biasanya diberikan empat minggu setelah operasi, sebelum pemberian obat tiroksin.
3.      Pemberian Tiroksin dan obat Anti-Tiroid
Tiroksin digunakan untuk menyusutkan ukuran struma, selama ini diyakini bahwa pertumbuhan sel kanker tiroid dipengaruhi hormon TSH. Oleh karena itu untuk menekan TSH serendah mungkin diberikan hormon tiroksin (T4) ini juga diberikan untuk mengatasi hipotiroidisme yang terjadi sesudah operasi pengangkatan kelenjar tiroid. Obat anti-tiroid (tionamid) yang digunakan saat ini adalah propiltiourasil (PTU) dan metimasol/karbimasol


DAFTAR PUSTAKA
Doenges, Marilynn E, dkk. 2000. Rencana Asuhan Keparawatan. EGC : Jakarta.
Harnawaty, dalam
http://nersgeng.blogspot.com/ 2009/05/asuhan-keperawatan-pasien-struma.html Senin, 08 November 2010.
Mansjoer, arif dkk. 2000. Kapita selekta kedokteran, edisi ketiga jilid 1. Media Aesculapius : Jakarta.
Syarifuddin, drs. AMK. 2006. Anatomi Fisiologi untuk mahasiswa keperawatan, edisi 3. EGC : Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar